Mendayakan Fungsi Belahan Otak Kanan dalam
Pengajaran
Bahasa Indonesia
BELAHAN OTAK
KIRI DAN KANAN.
Setiap belahan otak (kiri atau kanan) mempunyai
fungsi yang berbeda. Belahan otak kiri
berhubungan dengan logika, analisa, bahasa, rangkaian (sequence) dan
matematika. Jadi belahan otak kiri berespons terhadap masukan-masukan di mana
dibutuhkan kemampuan mengupas/meninjau (critiquing), menyatakan (declaring),
menganalisa, menjelaskan, berdiskusi dan memutuskan (judging). Belahan
otak kanan berkaitan dengan ritme, kreativitas, warna, imajinasi dan
dimensi. Jadi belahan otak kanan berfungsi kalau manusia menggambar, menunjuk,
memeragakan, bermain, berolahraga, bernyanyi, dan aktivitas motorik
lainnya. Sebenarnya kedua belahan otak
kiri dan kanan sama penting dan sama kuatnya. Mereka saling melengkapi satu
dengan yang lain.
Kalau sampai saat ini pembelajar lebih banyak
menggunakan belahan otak kiri, apa yang terjadi kalau sekarang mereka memakai
kedua belahan itu sekaligus ? Tentunya secara teoritis pembelajar akan memiliki
kekuatan otak yang ganda, karena
memakai semua kapasitas otak yang dimilikinya. Bahan ajar yang diciptakan ini memakai strategi mengoptimalkan seluruh
kapasitas otak pembelajar.
PEMBELAJARAN
YANG MENARIK.
Pembelajar khususnya orang dewasa biasanya takut
untuk berbuat kesalahan. Sudah tentu semua proses belajar ada kemungkinan gagal
atau membuat kesalahan. Tapi sebagai pengajar kita bisa membuat resiko ini seminimal mungkin. Hal ini
agak sulit dicapai kalau pembelajar diminta untuk berbicara dalam bahasa
target. Di lain pihak ada pendapat bahwa orang akan belajar secara optimal
kalau dia ikut berpartisipasi
(Malouf, Doug 2000). Tugas pengajar untuk memikirkan aktivitas apa yang paling optimal, menarik, dinamis dan relatif lebih
kecil resikonya.
Malouf (2000)
mengajukan format bahan ajar untuk pembelajar dewasa :
1. Tahap pemberian informasi.
Sebelum diberi dialog, pengajar mempersiapkan kerangka berpikir pembelajar
dengan memberikan latar belakang situasi atau mengajukan pertanyaan-
pertanyaan pra-dialog.
Hal ini bisa
dihubungkan dengan budaya atau
kebiasaan
masyarakat Indonesia.
Asher (1966) mengatakan : “pembelajaran melalui pancaindera penglihatan
lebih efisien dan bertahan lebih lama dalam ingatan dibandingkan dengan
pendengaran”. Dengan pertimbangan di atas, penulis
mengombinasi pemberian
dialog melalui audio
dengan benda-benda konkrit,
gambar, gerakan fisik
dan
ekspresi emosi.
2. Tahap peragaan.
Asher (1966)
percaya bahwa kondisi
yang optimal untuk
belajar adalah
bagaimana pembelajar pertama-tama diperkenalkan dengan
bahan ajar.
Menurutnya, ketrampilan
menebak sangat penting
dalam belajar dan
erat
Kaitannya
dengan lamanya bertahan
dalam ingatan.
Implikasinya, jangan
berikan terjemahan atau
arti langsung kepada
pembelajar, tapi biarkan
mereka memprosesnya secara mendalam dan menebaknya melalui
konteks.
Selain itu Asher mengemukakan : “Semakin
tepat pembelajar menebak
arti
kata, semakin
cepat dia belajar
kosa kata baru, menyerapnya, mengerti
kalimat atau konteksnya dan bertahan
lebih lama dalam ingatan”. Artinya,
jangan biarkan
pembelajar menerka-nerka sendiri,
tetapi pengajar harus
memperkecil kesalahan
menebak dengan memberikan gerakan, ekspresi dan cara
konkrit lainnya yang
memudahkan pemahaman kosa kata baru.
3. Tahap pelaksanaan.
Sesudah pemahaman
terjadi, pembelajar diharapkan
bisa memproduksi secara
terbatas melalui
aktivitas yang sederhana.
Sesudah itu bisa
mengaplikasikannya
dalam situasi yang lebih majemuk.
BAHASA
RESEPTIF DAN EKSPRESIF
Dalam setiap kebudayaan sepanjang sejarah manusia, anak-anak
berbicara dalam “bahasa ibu” setelah lebih dari setahun ibu atau orang2 di
sekitarnya berkomunikasi dengan anak itu. Seseorang harus mencapai tahap
pemahaman lebih dulu sebelum dia mulai berbicara. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemahaman adalah kondisi yang
diperlukan sebelum perkataan muncul. Dan pemahaman ini bisa dipercepat melalui
pemberian instruksi. Pendekatan ini dipakai oleh Asher untuk mengajarkan bahasa
melalui “learning another language through actions”. Usaha yang optimal
dilakukan dengan cara yang menarik perhatian pembelajar untuk menangkap makna
pesannya. Hal ini berguna untuk menguatkan pengertian bahasa dalam waktu singkat karena pengajaran dilakukan
terkonsentrasi, bervariasi, menarik dan
direncanakan secara khusus. Alat2 peragapun hendaknya bertahap, mulai dari
benda2 konkrit, gambar2 sampai akhirnya ke kata2 yang tertulis. Kalau pemahaman ini sudah benar2 meresap,
maka bahasa ekspresif akan muncul secara
spontan (Asher, James, 1996).
Masa pubertas adalah masa kritis yang
menentukan apakah seseorang akan mencapai kemampuan berkomunikasi yang hampir
sama dengan penutur asli atau tidak. Dalam belajar bahasa ada pendapat, kalau
pengajar sejak awal membiarkan kesalahan2 dalam produksi (bahasa ekspresif),
maka pembelajar akan terus menerapkan “kebiasaan buruk” ini, dan akhirnya
kesalahan makin sulit untuk diperbaiki. Di lain pihak Asher and Garcia (1969,
1982, 1986) dalam penelitiannya pada imigran Cuba di San Francisco Bay
menemukan bahwa sangat jarang pendatang yang tiba setelah masa pubertas bisa
berkomunikasi mendekati penutur asli. Tetapi pendatang ini mampu mencapai kemampuan menyimak atau pemahaman bahasa seperti penutur asli. Inilah yang mendasari
penciptaan bahan ajar dengan pendekatan yang lebih mengutamakan kemampuan
menyimak dan pemahaman bahasa sebagai dasar yang kuat sebelum mengharapkan
tercapainya bahasa ekspresif.
MENGAJARKAN
BUDAYA INDONESIA PADA PENUTUR ASING
Melalui dialog mahasiswa diperkenalkan pada
autentisitas aspek budaya yang
melatar belakangi konteks dialog atau bahasa itu sendiri. Hal ini bisa
ditunjukkan melalui peragaan, terutama kalau pengajar mau menunjukkan
pentingnya keramahtamahan untuk suksesnya berkomunikasi.
Sebelum
dialog diperdengarkan, bisa dilakukan tanya jawab pradialog untuk memudahkan
pembelajar masuk dalam konteks budaya yang melatarbelakangi dialog. Hal ini
perlu ditumbuhkan dalam pikiran pembelajar sebelum mereka mulai mendengar
dialog. Pemahaman tentang isi dialog bisa dipermudah dengan bantuan gerakan.
Ini akan meningkatkan semangat pembelajar, karena bukan hanya pembelajar saja
tapi juga pengajar turut berpartisipasi sehingga proses belajar menjadi lebih
dinamis, terbuka, dan interaktif.
nguistics.
0 komentar on Mendayakan Fungsi Belahan Otak Kanan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia :
Posting Komentar